Bangunan tua disepanjang kawasan Jalan Pabean, Kota Ampenan, Lombok, Nusa Tenggara Barat, tampak berdiri kokoh. Pulasan cat dinding berwarna-warni berpadu dengan sinar mentari pagi, menambah kesan eksotis salah satu sudut kota tua yang telah ada sejak 1800-an itu. Di sepanjang jalan ini berjejer bangunan tua bergaya art deco yang banyak ditinggali oleh warga keturunan, khususnya warga Tionghoa.
Ampenan dalam bahasa Sasak berati amben alias tempat singgah. Sesuai dengan namanya, Ampenan merupakan kawasan yang oleh Belanda dikembangkan menjadi pelabuhan untuk menyaingi dominasi kerajaan-kerajaan di Bali. Kota ini dahulunya pernah menjadi salah satu pusat kota di Lombok. Kini, Ampenan menjadi sebuah kecamatan di Mataram.
Sebagai kota pelabuhan, tentu beragam etnis tinggal berdampingan di Ampenan. Beberapa etnis yang berbeda budaya, seperti Cina, Melayu, Arab, dan Bugis hidup bersama di kawasan ini. Hal ini masih dapat terlihat hingga kini jika menyusuri beberapa ruas jalan di Ampenan. Di Jalan Yos Sudarso, misalnya, toko milik etnis Tionghoa berderet di satu sisi jalan, sedangkan toko milik etnis Arab berada di sisi jalan lainnya.
Di kawasan kota tua Ampenan, pemandangan bangunan-bangunan tua yang berjejer di tepi jalan dapat dengan mudah terlihat. Namun sayang, beberapa bangunan tua yang ada tampak kurang terawat, terkesan kumuh, dan hampir roboh.
Selain bangunan kuno, Ampenan juga memiliki pantai yang indah. Pada sore hari, pantai ini akan ramai dikunjungi wisatawan dan warga untuk menikmati pemandangan matahari terbenam. Di pinggir pantai, puing sisa-sisa dermaga yang dibangun pada masa Belanda, yakni sekitar 1948-1950 juga dapat terlihat.
Kekayaan wisata sejarah di Ampenan tentu harus terus dijaga dan dirawat, tak hanya oleh pemerintah kota, tapi juga masyarakat setempat. Revitalisasi dan penataan kota sudah seyogianya dilakukan tanpa mengubah bentuk asli bangunan kuno yang ada di sana.