Jika Anda berkunjung ke Desa Perigi Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur, Anda akan menemukan Dusun Adat daerah sana yang bernama Dusun Adat Limbungan. Dusun adat ini terbagi menjadi dua bagian, yakni Limbungan Barat dan Limbungan Timur.
Hal yang menarik dari dusun ini adalah kehidupan serta rumah adat yang masih ada hingga sekarang. Terbuat dari anyaman bambu (bedek), beratapkan jerami dengan pondasi dari tanah, dan berjumlah sekitar 200 lebih rumah yang masih terjaga disini. Sekilas tidak jauh berbeda dengan rumah yang ada di Desa Sade Lombok Tengah. Namun, tahukah kamu sejarah dari terbentuknya rumah Adat Limbungan tersebut?
Menurut salah seorang guide kami saat berkunjung ke sana, Papuq Zaskia, Rumah Adat Limbungan telah ada sejak beratus-ratus tahun lalu. Bentuk dari rumah adat sendiri berawal dari suatu rumah yang bernama Bale/ Batu Maliq. Bale artinya rumah, Maliq artinya Keramat. Jadi, Bale Batu Maliq adalah rumah “induk” di tengah gunung yang diyakini keramat oleh masyarakat Limbungan.
Konon, beratus tahun yang lalu, Ada sebuah keluarga yang tinggal di Gunung Maliq. Rumah mereka beralaskan tanah, bertembok bedek, beratap jerami, dengan sumur di halaman rumah. Kegiatan rutin keluarga ini adalah membuat kerajinan atau anyaman yang biasa disebut “nyesek”, baik itu berupa kain maupun daun pandan.
Keluarga ini memiliki anak. Sang anak diminta orang tuanya untuk menempelkan nasi pada kerajinan yang dibuat saat nyesek sebagai pengganti lem pada saat itu. Namun sang anak bukannya menempel, malah memakan semua nasi tersebut. Semakin lama, makin banyak nasi yang ia makan hingga habis. Karena persediaan nasi sudah habis, orang tuanya marah sehingga membunuh anak ini dengan cara memukulnya berkali kali menggunakan lisung. Lisung/Lesung adalah alat masak tradisional yang digunakan untuk menghancurkan atau menghaluskan makanan, seperti beras, kacang dll, dengan cara ditumbuk atau “ditujak”.
Layaknya kutukan, setelah anak tersebut ditujak oleh orang tuanya ia kemudian hidup kembali menjadi Lintah Raksasa yang kabur ke atas gunung dan tinggal di sebuah mata air tidak jauh dari tempat tinggalnya. Tempat mata air tersebut kemudian oleh masyarakat setempat dijadikan tempat untuk melakukan ritual “ngayu-ayu”. Ngayu-Ayu adalah sebuah ritual untuk meminta hujan dengan membawa persembahan berupa ayam putih mulus dan nasi. Persembahan tersebut biasa disebut dengan Nasi Sekeq.
Keberadaan lintah raksasa ini juga diyakini sebagai objek yang bisa mendatangkan kesuburan air atau rejeki bagi masyarakat. Menurut warga Limbungan, lintah tersebut kini berada di Lingsar. Seperti yang kita ketahui, Lingsar adalah salah satu daerah di Lombok Barat yang memiliki debit air yang banyak. Konon, hal itu disebabkan oleh Lintah Raksasa dari Batu Maliq yang kini tinggal di sana.
Selain sebagai lokasi ritual permintaan hujan, Rumah keluarga lintah yang dikenal dengan Batu Maliq inilah yang menjadi cikal bakal dari seluruh rumah yang ada di Limbungan. Jika rumah tersebut rusak, masyarakat Limbungan Barat dan Timur akan “begawe” (bergotong royong) memperbaiki Bale Batu Maliq karena dianggap sebagai sejarah dari rumah yang mereka tempati kini.
Renovasi atau perbaikan Bale Batu Malik pun, tidak boleh lebih dari 1 x 24 jam. Seburuk apapun kondisi bale yang akan di perbaiki, harus diselesaikan dalam waktu 1 hari. Jika tidak, akan ada kesialan yang menimpa masyarakat Limbungan.
KKN Tematik Desa Perigi Unram 2017
Sumber; instagram #insidelombok